Kamis, 25 November 2010

Tugas Softskill


TUGAS SOFTSKILL

ILMU SOSIAL DASAR




Galih herniawan ( 32410917 )
1ID04
TEKNIK INDUSTRI


UNIVERSITAS GUNADARMA 2010/2011






KATA  PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan  Yang Maha Esa karena atas berkah dan karunianya Lah saya masih dapat menyelesaikan makalah ini.

Dalam  makalah  ini  saya akan  membahas  masalah  tentang mengapa masyarakat di lereng merapi enggan mengungsi.

Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi pengethuan dan kontribusi bagi seluaruh mahasiswa bidang Teknik Industri. Dalam penyampain makalah ini masih banyak kekurangan yang saya buat, untuk itu saya mohon bimbingan dari dosen pembimbing yang mengajar dalam mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih



                                                                Bekasi, 16 November  2010
                                                                             Penulis,







BAB 1
PENDAHULUAN
1.1          Latar belakang
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten SlemanDaerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaituKabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, sertaKabupaten Klaten di sisi tenggara.
Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.

1.2          TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut
· Menambah pengetahuan yang diharapkan bermanfaat bagi kita semua
· Mengetahui mengapa masyarakat lereng gunung merapi enggan mengungsi











Awas Merapi Abaikan Peringatan, Warga Merapi Enggan Mengungsi

VHRmedia, Magelang – Warga lereng selatan Merapi tidak menganggap serius peringatan mengungsi yang dikeluarkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta. Posko pengungsian di lereng selatan Gunung Merapi masih tampak sepi.

Koordinator Posko Induk Bencana Merapi Kabupaten Magelang, Moch Damil Ahmad Yan, mengatakan BPPTK Yogyakarta merekomendasikan warga segera mengungsi. Namun, dari 2.260 warga di desa sekitar lereng selatan Merapi hanya 351 orang yang mengungsi.

Wilayah yang dianggap rawan antara lain 4 dusun di Kaliurang, Yogyakarta, dan 2 dusun di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Magelang. ”Setelah ada surat BPPTK, Bupati Magelang langsung melakukan rapat koordinasi. Selanjutnya, Camat Srumbung dipanggil untuk melakukan evakuasi warga yang tinggal di dua desa itu,” kata Moch Damil Ahmad, Senin (25/10) malam.

Menurut Moch Damil Ahmad, terdapat 19 desa di Kabupaten Magelang yang masuk Kawasan Rawan bencana III. Dua desa di lereng selatan Merapi posisinya dianggap paling berbahaya.

“Kami langsung evakuasi. Namun, berdasarkan data sore tadi, yang mengungsi di dua barak pengungsian Tanjung dan Jeruk Agung, hanya 351 pengungsi. Jumlah itu sedikit,” ujar Moch Damil Ahmad.

Warga di 4 dusun di Kaliurang mencapai 1.525 orang. Sedangkan warga di 2 dusun di Desa Kemiren 774 orang. Menurut Damil Ahmad, sebagian warga masih enggan mengungsi. ”Masing-masing daerah mempunyai kearifan lokal sendiri tentang Gunung Merapi. Kami tidak berani memaksa mereka mengungsi. Pendekatan yang kami lakukan adalah pendekatan masyarakat, sehingga tidak mungkin main paksa seenaknya.”

Pawiro Sastro, warga Kaliurang, mengaku terpaksa tinggal di pengungsian. Sebenarnya nenek ini keberatan mengungsi karena harus meninggalkan ternaknya. ”Saya mengungsi karena menuruti pemerintah. Padahal, tempat tinggal saya itu aman dari Merapi. Saya disuruh mengungsi ketika pulang dari memetik cabai. Ternak saya tinggal dan diurus anak laki-laki saya,” ujarnya. (E1)



Merasa Aman, Warga Masih Enggan Mengungsi

Cukup mencengangkan, ketika instruksi mengungsi dari pemerintah tidak digubris oleh warga Kawasan Rawan Bencana (KRB) III di Klaten. Di lain pihak Pemkab sendiri setempat dinilai belum siap mengevakuasi warga, terbukti dengan minimnya logistik hingga sosialisasi ke wilayah itu.
”Pemerintah desa sudah diminta untuk mengimbau warganya mengungsi hari ini (kemarin -red) dan kami pun telah meneruskannya ke warga. Namun kenyataannya masih di rumah masing-masing,” terang Kades Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Suroso, Senin (25/10).
Dalam imbauannya ke warga, pihaknya telah menginformasikan status Awas Gunung Merapi, namun hal itu belum cukup kuat untuk menggerakkan warganya mengungsi. Warga, kata dia, mempunyai pertimbangan lain untuk memutuskan tetap tinggal.
Namun untuk mengawalinya, warga sendiri berinisiatif menyiapkan 15 truk pasir pengangkut pengungsi. Titik pengumpulan pengungsi pun dipusatkan di balai desa setempat dan di salah satu gedung sekolah.
”Ada 2.400 warga di sini sebagai calon pengungsi. Truk pasir milik warga juga sudah siap untuk mengangkutnya dari balai desa dan SDN II sebagai titik kumpul,” terangnya, kemarin.
Pada bagian lain, keputusan warga untuk mengungsi bergantung dari imbauan langsung dari pejabat daerah. Sekretaris Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Basuki mengatakan, sedianya Bupati, Kapolres, Dandim, ataupun pejabat berpengaruh bersedia menemui warga, maka mereka pun dapat diyakinkan untuk mengungsi.
Hingga kemarin petang, warga lebih memilih mempersiapkan diri daripada mengandalkan janji dari pemerintah. Mereka telah mengemasi barang-barang dan bersiap turun gunung dengan tanda-tanda dari Merapi. ”Hasil pendataan ada 23 truk yang bersedia mengangkut kapan saja,” jelasnya.
Aktivitas warga pun menurutnya masih normal, meski pengamatan Merapi melalui ronda kian digiatkan. Perlu diketahui, Desa Balerante dan Sidorejo terletak sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Keberadaan warga di desa tersebut mengancam jiwa mereka jika sewaktu-waktu Merapi meletus.
Keengganan warga untuk meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi, sesungguhnya dilatarbelakangi trauma atas peristiwa pengungsian tahun 2006 yang sangat merugikan warga.
Musiyem warga Deles, Kemalang, Klaten, Senin siang masih melakukan aktivitas seperti biasa. Dia tetap mencarikan rumput untuk ketiga ekor sapi piaraannya. Sapi itu telah dipiara dan dibesarkannya selama empat tahun terakhir, tepatnya pascaerupsi Merapi tahun 2006.
Saat itu seluruh warga di kampungnya dipaksa mengungsi dari rumah karena ancaman bahaya Merapi. Mereka mengungsi di tenda pengungsian yang disediakan pemerintah di lapangan Desa Dompol, Kemalang, Klaten.
Namun hingga pengungsian berakhir Desa Deles memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit anak Merapi yang oleh warga biasa disebut Gunung Biyung Bibi. Anak gunung ibarat tameng dari bencana Merapi bagi warga Kemalang secara turun-temurun.
Padahal karena harus mengungsi dan hanya orang yang disediakan tempat pengungsian, akhirnya seluruh ternaknya dijual secara murah. Tanaman di lahan garapan juga terbengkelai karena tak dirawat.
Jawaban lebih jelas disampaikan Martono, warga dusun Pajegan, Desa Tegalmulyo, Kemalang. Pajegan adalah salah satu kawasan hunian tertinggi di lereng Merapi daerah Klaten. Lokasi hunian itu hanya berjarak 2 kilometer dari puncak Merapi. Tahun 2006 lokasi tersebut terselamatkan oleh bukit Biyung Bibi dari semburan awan panas Merapi.
Sementara itu, juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo atau Mbah Maridjan meminta masyarakat di Kawasan Rawan Bencana III mematuhi instruksi dari pemerintah untuk segera mengungsi terkait dengan peningkatan status Gunung Merapi dari Siaga menjadi Awas. (dtc/ant/Bersambung)
Gunung Merapi merupakan bagian dari pilar penting warga Yogyakarta
Tigapuluh dua warga sekitar Gunung Merapi meninggal akibat abu panas yang menyembur dari kawah gunung berapi paling aktif di Indonesia ini pada hari Selasa (26/10) sore, padahal seharusnya korban jiwa bisa dihindari.
Letusan Gunung Merapi ini memang sudah diramalkan sejak akhir minggu ketika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menetapkan status siaga setelah terjadi penggembungan kawah.
Media di Indonesia melaporkan status siaga ini membuat pihak berwenang memutuskan agar warga yang berada di lereng gunung itu segera mengungsi sebagai upaya mencegah jatuhnya korban.
Pada hari Senin (25/10) status Gunung Merapi ditingkatkan menjadi awas setelah penggembungan yang lebih cepat dan lebih besar daripada sehari sebelumnya, perintah yang keluar terhadap warga adalah pengungsian.
Korban yang meninggal sebenarnya bisa dihindari jika ada perencanaan
Namun, meninggalknya puluhan warga ketika gunung berapi itu meletus menunjukkan bahwa perintah untuk meninggalkan rumah tidak didengar dan diikuti oleh sebagian besar warga di Gunung Merapi.
Sejumlah warga yang sempat diwawancarai oleh BBC Indonesia dan media lain dikutip mengatakan mereka sedang melakukan aktivitas sehari-hari ketika letusan terjadi, sementara alasan mereka tidak mengungsi meski telah mendapat peringatan adalah tidak percaya peringatan itu akan terjadi karena pada tahun 2006 tidak terjadi letusan padahal mereka sudah mengungsi.
Aspek budaya
Selain itu, menurut pengajar Sosiologi Universitas Gajah Mada, Dr Mohammad Supraja, mengatakan bahwa bagi warga Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan yang menjadi sumber nafkah mereka, mulai dari pertanian hingga peternakan.
"Secara kultural ada semacam ikatan kuat antara masyarakat di sana dengan gunung berapi itu karena mereka merasa aman dan nyaman secara ekonomis," ujar Dr Mohammad Supraja kepada BBC Indonesia.
Dengan kata lain mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka untuk tinggal di tempat pengungsian.
"Pemerintah tampaknya tidak siap dalam menampung para pengungsi ini," ujar Dr Mohammad Supraja, "Dari kesaksian keluarga Ponimin yang diwawancara bisa didengar bahwa mereka tidak mengungsi karena melihat fasilitas kamp pengungsi yang tidak bisa memberi kesempatan warga untuk menjalankan kehidupan mereka".
Lokasi yang jauh dari pusat kegiatan inti warga membuat mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan sehari-hari ataupun menjaga harta benda yang ditinggalkan.
Dia menambahkan seharusnya pemerintah sudah memiliki satu rencana yang lebih menyeluruh dan lebih rapih dalam menghadapi satu bencana yang secara ilmiah diketahui akan terjadi.
1. sebelum mbah maridjan meninggal, mereka setia nemenin mbah maridjan di gunung. mereka udah disuruh ngungsi tapi ga mau. makanya banyak yg tewas.
2. mereka takut kalo mereka ngungsi ga ada yg ngurusin sawah dan ternak mereka sementara pemerintah ga menjanjikan ganti rugi
3. pengungsian ga senyaman di rumah mereka masing-masing.
Banyak Tamu, Mbah Marijan Enggan Mengungsi

Sleman, CyberNews. Bila warga lereng Gunung Merapi memilih mengungsi setelah Merapi mulai bergolak, Mbah Marijan justru kian kerasan di rumahnya. Mbah Marijan, yang pada Erupsi Merapsi 2006 lalu menolak mengungsi, kali ini juga memilih tinggal.
Setiap hari, ada saja orang yang bertandang ke rumah Mhah Marijan di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Hal itu membuat Marijan merasa harus tinggal di rumah. “Kulo niki sampun krasan teng mriki, mengke nek wonten tamu mriki, kecelek menawi kulo kesah. (saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan, Selasa (26/10).
Meski demikian, Mbah Maridjan tidak mempersoalkan jika warga yang tinggal di sekitarnya pergi mengungsi menyusul peningkatan status Merapi menjadi awas. Mbah Maridjan bahkan meminta masyarakat di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III mematuhi instruksi dari pemerintah untuk segera mengungsi.
menurut pandangan pribadi Mbah Maridjan, kondisi Gunung Merapi saat ini masih belum apa-apa.
Dengan cara seperti itu pun masih banyak di antaranya yang tetap bertahan, dengan berbagai alasan yang mereka sampaikan. Terlebih salah satu sesepuh yang mereka anggap sebagai juru kunci Merapi ketika itu masih mengatakan bahwa Kyaine (sebutan merapi ala Mbah Marijan) tidak apa-apa dan hanya bernapas serta dhehem-dhehem saja.
Ternyata apa yang diramalkan pihak yang berwenang kali ini benar adanya. Pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2010 Merapi benar-benar meletus. Banyak korban yang lukaluka bahkan meninggal dunia. Banyak pula di antaranya yang menderita sesak napas sebagai akibat debu vulkanik, bahkan satu bayi meninggal dunia akibat debu vulkanik tersebut.
Meski sementara ini Merapi tampak beristirahat, namun penduduk baik yang berada di wilayah Jawa Tengah (Jateng) ataupun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merasa bingung, was-was, dan ketakutan ketika mereka memperoleh berbagai informasi serta melihat gejala peningkatan aktivitas gunung Merapi, terlebih ketika menyaksikan gunung Merapi meletus dan membawa banyak korban jiwa.
Berbagai informasi yang telah mereka peroleh sebelumnya, baik lewat media massa, dari aparat, ataupun komunikasi gethok tular yang sebelumnya sering mereka abaikan, sekarang menjadi kenyataan.
Sebelum Merapi meletus, sebenarnya berbagai penjelasan dari aparat yang berwenang pun telah mereka terima. Bahkan banyak di antara mereka yang telah menuruti saran untuk mengungsi ke tempattempat pengungsian yang disediakan, meski gejala terakhir menunjukkan banyak di antara mereka yang ingin kembali ke kampung halaman dengan berbagai alasan.
Kebanyakan yang masih memilih bertahan yakin bahwa mereka masih merasa aman, terlebih sesepuh mereka ketika itu mengisyaratkan aman. Mungkin, mereka baru akan mengungsi setelah memperoleh aba-aba dari sesepuh seperti Mbah Marijan, serta ada pula yang menunggu wangsit dari penunggu goib dari Merapi. Banyak pula di antaranya mungkin juga berpendapat toh ramalan ilmiah yang mereka sering dengar ketika itu juga belum terbukti, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Setelah melihat kenyataan Merapi akhirnya meletus dan membawa banyak korban, maka pertanyaannya, mengapa sebahagian penduduk lereng merapi memilih bertahan dan yang semula telah mengungsi juga banyak yang ingin kembali dengan berbagai alasan, padahal gejala alam yang ditunjukkan Merapi ketika itu makin mengkhawatirkan?
Adakah jalan keluar yang baik sekaligus akan dituruti penduduk lereng merapi di masa yang akan datang, sehingga bila Merapi benar-benar meletus seperti yang baru saja terjadi, maka korban manusia bisa seminim mungkin atau bahkan tidak ada?
Kepastian
Melihat gejala masih banyaknya penduduk yang memilih bertahan dan yang meninggalkan pengungsian kembali ke kampung halaman dengan berbagam alasan, bila kita lihat dari sisi komunikasi tampaknya hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian (enthropy) kapan Merapi akan meletus. Bila dikaitkandengan Teori Enthropy yang menyebutkan bahwa informasi akan dianggap informatif bila mampu menghilangkan ketidakpastian, tampaknya pada kasus gejala akan meletusnya Merapi hal tersebut akan sangat sulit diwujudkan.
Kenyataan telah menunjukkan kondisi alam Merapi masih berubahrubah. Berbagai ramalan yang selama ini telah banyak terlontar baik lewat media ataupun komunikasi lainnya ketika itu juga belum terbukti.
Padahal banyak para ahli sosiologi yang menyebutkan bahwa masyarakat akan lari ke sesuatu yang berkait dengan masalah gaib/mistik, bila mereka sedang menghadapi ketidakpastian, termasuk tentang kapan Merapi akan meletus, seberapa besar letusannya, termasuk wilayah yang terkena dampaknya.
Melihat gejala ini, tak mengherankan bila masih ada penduduk yang tinggal di wilayah tertentu yang jelas sangat rawan bahaya, memilih bertahan, karena mereka merasa yakin bahwa dampak letusan tidak akan menimpa wilayah mereka. Celakanya, ketika banyak di antara mereka yang telah mau mengungsi, mungkin mereka merasa pelayanan yang diterima kurang memadai, sehingga mereka menjadi jenuh dan banyak di antaranya yang ingin kembali pulang.
Karena ketidakpastian, pelayanan, dan kejenuhan itu tampaknya yang jadi masalah, maka di masa yang akan datang pihak yang berwenang hendaknya memfokuskan perhatian untuk bisa mengatasi hal tersebut. Kita yakin bahwa pihak yang berwenang tentu menginginkan minimnya jumlah korban bila sampai Merapi benar-benar meletus seperti yang terjadi belum lama ini. Penduduk lereng Merapi pun sebenarnya juga berkeinginan demikian.
Karena itu jalan bijaksana yang harus diupayakan pihak berwenang adalah menyediakan sarana serta prasarana yang memadai. Ke depan, jangan lagi terdengar masyarakat terpaksa secara swadaya memnperbaiki jalur evakuasi yang rusak misalnya.
Begitu pula dengan tempat pengungsian yang memadai, sekaligus memberikan kegiatan terhadap para pengungsi, agar mereka tidak merasa jenuh. Ini perlu dilakukan dengan serius, mengingat pengungsi Merapi akan tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama, setidaknya sejak Merapi belum meletus, hingga setelah meletus.
Melalui kerjasama dengan media massa serta berbagai pihak secara terpadu, maka informasi yang diterima penduduk lereng merapi dapat disaring. Ini penting mengingat bila setiap informasi dibiarkan masuk sehingga banyak yang tumpang tindih bahkan saling bertentangan, akan membingungkan masyarakat sekaligus menyebabkan munculnya ketidakpastian.
Selain itu, perlu dilakukan pendekatan dengan para sesepuh yang dianggap menjadi panutan penduduk, selanjutnya kepada mereka diajak dialog dengan menggunakan bahasa serta budaya beserta keyakinan yang mereka miliki, sehingga diharapkan akan tercapai kesepahaman, terutama menyangkut keselamatan jiwa penduduk. Ini perlu dilakukan, karena sebenarnya tujuan antara pihak berwenang dengan para sesepuh itu sama yaitu keselamatan dan kesejahteraan penduduk.
Mungkin saja selama ini bahasa birokratis dan ilmiah yang banyak digunakan, sehingga sangat sulit dimengerti oleh para sesepuh, sehingga seolah mereka terkesan abai, padahal sebenarnya bukan demikian yang dikehendaki para sesepuh tersebut. Karena itu komunikasi manusiawi dengan memanfaatkan bahasa budaya, diharapkan akan mampu menghilangkan stereo types sekaligus prejudice di antara ke dua belah pihak karena tujuannya sebenarnya sama.
Kita lalu ingat berbagai program pemerintah yang pernah dilakukan bersama-sama dengan para pemuka masyarakat, seperti transmigrasi bedhol desa yang ada di Watukelir ketika waduk Gajah Mungkur akan dibangun, yang berhasil mengatasi keengganan masyarakat untuk bertransmigrasi, karena kelekatan baik dengan tanah kelahiran ataupun dengan para sesepuh desanya.
Meski tidak mungkin sama, karena kasusnya sangat berbeda, namun setidaknya hal semacam itu pantas kita pikirkan. Kejelasan serta kelengkapan informasi yang diterima penduduk, dukungan para sesepuh, serta tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di tempat pengungsian, tampaknya merupakan alternatif yang memadai, sehingga penduduk lereng Merapi akan terpandu menuju sebuah solusi yang aman, nyaman, sekaligus terhindar dari menjadi korban yang siasia.





















DAFTAR RESENSI :